Sekali-kali coba??
Karena tinggal dan merasakan kehidupan kota, sejujurnya aku takut banget kalau pas mudik atau pas kembali ke Lampung halaman orang-orang ngeliat aku kekota-kotaan. Honestly, aku gak mau banget aku berubah menjadi kekota-kotaan. Makanya orang-orang, nitizen budiman sekitar rumah (tetangga gue) mereka heran banget sama aku yang 4 tahun di bandung but logat sunda gak nyantol sama sekali. Malah logat jawa yang semakin menjadi-jadi. Sejujurnya aku takut kalau aku krisis identitas gitu uwehehehhe... Ya intinya gak mau berubah karena lingkungan. Ya kaya mahasiswa indo yang kuliah di luar negeri beberapa dari mereka yang aku lihat, mereka itu gak sok inggris gitu, gak kebarat-baratan. Oke bukan berarti aku menganggap logat sunda atau bahasa sunda akan melunturkan jiwa kejawaan yang aku miliki, yaa bilang aja "aku blm bisa bahasa sunda." case close.
Nah dari cuplikan diatas, yang mempengruhi sikap, attitude seseorang tentunya dalah "social life". Kaya selama di bandung ini, melihat kehidupan orang-orang kota yang sangat konsumtif kadang terpikir, dapet uang di kota mudah banget kayaanya, dikit-dikit makan di Mcd, ada film baru rilis langsung nonton. Aku yang 19 tahun tinggal di desa yang jauh dari kehidupan perkotaan, sungguh kaget sih sebenernya melihat kenyataan kehidupan orang-orang kota ini. Selama 19 tahun itu aku makan di Mcd bisa dihitung, kayaknya cuman pas masih TK itu pun diajak tante ides, yang emang pada masa itu kuliah di Bandar Lampung(balam). Terus zaman SMA itu main ke balam sendirian (gak sama ayah ibu) juga bisa dihitung, cuman 2 kali apa ya? dan tujuaanya juga mulia banget beli buku UN di Gramedia yang cuma satu-satunya di Lampung. Jadi aku itu terbiasa banget dengan kehidupan yang "yaa makanan apa yang ada didepan lo ya itu yang lo makan". Jarang banget selama dirumah kita wiskul ke SOLARIA gitu, paling sering itu ke RM.Dua Saudara, RM.Puti Minang ya gak setiap hari juga, masakan ibu gak ada yang ngalahin sih Juara mending makan di rumah, ciyuss.
Berdasarkan hal itu, mungkin aku terlihat norak banget pas pertama kali nonton. Pertama kali nonton itu di Bandung entah semester berapa tapi aku inget sama siapa, dan film apa yanga ku tonton. Film SOEKARNO dan itu nonton di JATOS, jamnya iu malem gitu dan pas ditengah-tengah film ibu SMS (khawatir masih awal kuliah) tanya lagi dimana?? Karena anaknya jujur jadi dijawab sejujurnya lagi nonton sama temen kosan. Kemudian ibu balas panjang lebar khawatirnya ibu-ibu. Apa kesan pertama nonton? Dingin, dadanya sakit karena suaranya DUOOOOM DOLBII YOU ARE SOROUNDED......
Selanjutnya setelah nonton tentunya ingin mencoba-coba yang lain seperti makan di tempat nitizen yang sering di bikin story itu. Walaupun terlihat kikuk dan norak seenggakanya udah pernah nyobain makan di tempat mahal. Eh sejujurnya ya kalau lagi makan di tempat kaya gitu (Sushi Tei, YOSHINOYA, Pizza hut) suka bayangin orang tua dirumah makan pake apa, kapan-kapan ngajak ina ahh kesini. Kalau ngajak ayah sama ibu pasti gak mau, maunya RM bagonjong. Hehhe...
Karena nitizen yang konsumtif itu aku juga mencoba untuk isi saldo Go-Pay. Akibatnya aku sering benget order Go-Food, kan konsumtif banget yaa...
Nah sekrang, setelah mencoba hal-hal konsumtif yang di lakukan oleh orang kota, aku sadar. Aku belum cocok jadi nitizen konsumtif, aku masih suka menyesal kalau habis order Go-Food, makan di tempat mahal. Belum bisa nyari uang sendiri kok "gembaya". Masih pake duit orang tua kok "kementhus".
Well social life yang akan membentukmu,
genggam erat sahabat soleh dan solehah mu, Insya Allah kalau sahabat mu soleh dan solehah ada dua kebahagiaan didapat, dunia dan akhirat.
Sungguh. Harta termahal dari anak rantau adalah sahabat-sahabat yang baik :')— Abdurrahim Arsyad (@abdurarsyad) 2 Agustus 2017
2 Comments
wohoohooo....... oh aku jadi tau ... hm... :')
ReplyDeletejadi tau apa teh???
ReplyDelete